Jumat, 09 Desember 2011

artikel 2

ARTIKEL 2

Palembang (ANTARA News) - Upacara pembukaan SEA Games ke-26 bertajuk "Sriwijaya Sebuah Semenanjung Emas" nan megah menandai dimulainya perhelatan olahraga terakbar se-Asia Tenggara di Gelora Sriwijaya, Kompleks Olahraga Jakabaring, Palembang, Jumat.

Keagungan dan gemerlap upacara pembukaan SEA Games yang menawan itu untuk sementara memupus keraguan bahwa pelaksanaan perhelatan olahraga prestisius itu bakal berlangsung ala kadarnya.

Sejarah mungkin juga harus mencatat, bahwa upacara pembukaan SEA Games di
kota Pempek itu termasuk yang paling spektakuler dan termegah sepanjang sejarah penyelenggaraan SEA Games.

Perhelatan itu sekaligus juga meneguhkan bahwa meskipun sempat kedodoran dalam persiapannya,
Palembang dan Jakarta sepenuhnya telah siap menjadi tuan rumah SEA Games 2011.

"Saya sampaikan bahwa
Indonesia siap menjadi tuan rumah SEA Games ke-26," kata Menteri Pemuda dan Olahraga Andi Malarangeng dalam sambutannya pada upacara pembukaan berbiaya Rp165 miliar itu.

Presiden Republik
Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono dan Ibu Negara Ani Yudhoyono yang duduk di tribun kehormatan terlihat sumringah dan dengan seksama menyaksikan kemegahan upacara pembukaan.

Pun demikian dengan sekitar 16.000 penonton mereka tampak antusias dan terpukau dengan perhelatan itu, meskipun pada paruh pelaksanaan upacara hujan deras mengguyur stadion Sriwijaya.

Presiden menyatakan ajang SEA Games merupakan langkah nyata untuk memperkuat kebersamaan negara-negara di kawasan
Asia Tenggara, khususnya dalam bidang olahraga.

"ASEAN kian menjadi kawasan dinamis dan penuh kemajuan. Mari kita tingkatkan kerja sama dan kemitraan lebih tinggi untuk mewujudkan Asia Tenggara yang damai, adil, maju dan sejahtera," tutur Presiden yang mengenakan pakaian adat
Palembang lengkap dengan ikat kepala.

SEA Games ke-26 yang dilaksanakan di
Jakarta dan Palembang pada 11-22 November 2011 mengawali rangkaian kegiatan ASEAN pada akhir 2011. Pada 17-19 November 2011 di Bali akan diselenggarakan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN yang dihadiri oleh kepala negara/pemerintahan sepuluh negara anggota ASEAN.

Indonesia empat kali menjadi tuan rumah perhelatan olahraga terbesar se-Asia Tenggara, yakni pada 1979, 1987, 1997 dan 2011. SEA Games kali ini merupakan SEA Games terbesar yang pernah diselenggarakan, diikuti oleh 11 negara anggota ASEAN, dengan jumlah atlet mencapai 12.000 orang. Mereka akan bertanding di 44 cabang olahraga dan memperebutkan 545 medali emas.










           



artikel 1

Artikel 1

iIndonesia akan menjadi tuan rumah dalam pesta olah raga Asia tenggara Sea games XXVI tahun 2011. Pesta Olahraga Negara-Negara Asia Tenggara (Southeast Asian Games) atau  SEA Games adalah ajang olahraga yang diadakan setiap dua tahun dan melibatkan 11 negara Asia Tenggara. Ditengah keterpurukan Indonesia dalam prestasi olahraga, Sea Games XXVI harus dijadikan tonggak dan motivasi bangsa ini untuk bangkit lagi. Indonesia yang pernah berjaya dan merajai ajang olah raga Asia tenggara tiga puluh tahun yang lalu selama hampir dua dasa warsa, saat ini harus bangkit lagi. SEA GAMES XXVI, SAATNYA INDONESIA BANGKIT, AYO,..KAMU PASTI BISA !!!!

Pada SEA Games XXVI,  Indonesia akan menjadi tuan rumah penyelenggara adalah DKI Jakarta dan Kota Palembang, di Sumatera Selatan pada 11-22 November 2011. Sementara Kota Palembang (Sumsel) selain tempat pertandingan 21 cabang olahraga, juga mendapat kepercayaan oleh pemerintah pusat sebagai pelaksana upacara pembukaan dan penutupan SEA Games XXVI.
Indonesia akan menjadi tuan rumah yang keempat kalinya dalam ajang dua tahunan pertandingan olah raga antar negara-negara ASEAN tersebut. Sebelumnya Indonesia pernah menjadi tuan rumah pada SEA Games ke 10 pada 1979, SEA Games ke 15 pada 1987 dan SEA Games ke 19 pada 1997. Dan dalam tiga kali menjadi tuan rumah, Indonesia selalu menjadi juara umum.
Sea Games XXVI  dibuka pada 11 November dan berakhir pada 22 November yang diselenggarakan di dua tempat yaitu Palembang, Sumatera Selatan sebagai tempat pembukaan dan Jakarta.   Sea Games kali ini akan mempertandingkan 44 cabang olahraga dan memperebutkan 542 medali emas.

Rabu, 07 Desember 2011

kota magelang

.

SEJARAH & POLA PERKEMBANGAN KOTA MAGELANG.

Alun-alun tempo doeloe.
Oleh: Mualim M Sukethi.

Borobudurlinks, 21/11-09.
Sebagai sebuah kawasan pemukiman, Magelang sudah ada sejak zaman Kerajaan Mataram Hindhu (Mataram Kuno). Dalam Prasasti Mantyasih (907 M), disebutkan bahwa Magelang awalnya adalah desa perdikan “Mantyasih”, yang berarti beriman dalam cinta kasih. Di tempat, yang kini disebut Meteseh, itu terdapat lumpang batu yang diyakini masyarakat sebagai tempat upacara penetapan Sima atau perdikan.
Setelah melalui masa jaya sekitar dua abad, wilayah Mantyasih menghilang akibat letusan gunung berapi, berbarengan juga dengan hilangnya wilayah Kedu dan Mataram Hindhu dari panggung sejarah. Nama Kedu baru muncul lagi setelah terbentuknya pusat kekuasaan baru, yaitu Mataram di Yogyakarta sebagai wilayah nagaragung (kerajaan). Kedu berkembang sebagai daerah hinterland Mataram dan menjadi gudang bahan pangan bagi kerajaan itu.
Magelang pada waktu itu merupakan daerah perkebunan raja, atau kebon dalem, milik Sri Sunan Pakubuwono. Ini dibuktikan dengan adanya artefak yang sampai saat ini masih ada berupa kawasan dengan nama yang khas, berkaitan dengan buah dan sayuran hasil kebun. Kawasan itu terletak sepanjang kampung Potrobangsan sampai kampung Bayeman yang merupakan deretan kebun, antara lain kebun kopi (Botton Koppen), kebun pala (Kebonpolo), kebun kemiri (Kemirikerep), kebun jambu (Jambon) dan kebun bayem (Bayeman).
Dari beberapa data di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa kota lama menurut versi “kerajaan” pada awalnya adalah daerah Mantyasih, yang kemudian berkembang ke arah Timur dengan batas wilayahnya di sekitar Bayeman sampai Potrobangsan dengan pusat di kelurahan yang saat itu disebut Kebondalem.
Setelah ‘Perjanjian Gianti’ (1755), di mana Kerajaan Mataram dibagi dua, Surakarta dan Yogyakarta, wilayah Kedu menjadi bagian dari Yogyakarta. Ketika Sultan Hamengkubuwono II dari Yogyakarta dikalahkan Inggris, wilayah Kedu diserahkan kepada penjajah dari Eropa itu.


Lambang kota yang 'Eropa banget'.

Pada tahun 1810, Inggris memerintahkan Danoekromo, Bupati Magelang ke I, untuk membangun pusat pemerintahan yang terdiri alun-alun, kantor kadipaten, dan masjid. Pola awal pembangunan kota yang digunakan Inggris saat itu adalah pola tradisional (kerajaan), dengan kantor kadipaten sebagai replica istana raja.
Setelah Belanda datang dan menguasai Magelang pada tahun 1813, Magelang bertumbuh-kembang dengan dipengaruhi pola tradisional dan colonial, atau lebih dikenal dengan pola Indies. Tahun 1818, Magelang ditetapkan sebagai ibukota karesidenan Kedu, dan berkembang sebagai kota militer sejak 1828.
Ada beberapa alasan pemerintah colonial Belanda menjadikan Magelang sebagai ibukota karesidenan Kedu dan kota basis militer. Alamnya yang indah nyaman sebagai tempat pemukiman. Sedangkan tanahnya yang subur menjadikan wilayah itu sebagai pemasok bahan-bahan makanan bagi kota-kota di sekitarnya.
Posisi Magelang dapat memantau wilayah sekitar, terutama tiga kota penting yaitu Yogyakarta, Solo dan Semarang. Alasan lainnya karena posisi wilayah gerilya para pejuang pribumi saat itu yang lebih banyak menggunakan pegunungan dan perbukitan. Saat itu, pemerintah kolonial merasa kesulitan untuk mengawasi gerilya pribumi, karena itu diperlukan penguasaan wilayah yang dapat memantaunya yang salah satunya adalah Magelang.
Sebagai ibukota, pola kota Magelang berbeda dengan ibukota kabupaten dan karesidenan lain di Jawa. Jika di kota-kota Jawa terdapat pola penyeimbangan antara penguasa lokal (berhubungan dengan kerajaan) dan colonial, dengan letak kadipaten di sebelah selatan berhadapan dengan kantor karesidenan atau asisten residen di sebelah utara, dan alun-alun ditengah-tengahnya.
Namun Magelang justru tidak menonjolkan keseimbangan tersebut karena pertimbangan fungsi dan alam yang ada. Perletakannya yang tidak menggunakan sumbu utara-selatan. Kadipaten sebagai replika istana raja berada di sebelah utara alun-alun, sementara karesidenan berada di sebelah barat alun-alun. Tidak persis di sebelah barat alun-alun, bahkan sekitar 500 meter dari alun-alun.
Sementara di selatan alun-alun digunakan sebagai sekolah menengah pamongpraja yang dikenal sebagai MOSVIA. Hal ini merupakan salah satu penyimpangan yang terjadi jika dikomparasikan dengan pola umum kota kolonial dan kota indis di Jawa.

Penyeimbangan kekuasaan kolonial terlihat beberapa elemen kolonial yang lebih dominan, terutama di pusat kota dengan adanya gereja, MOSVIA, Kamar Bola, Gudang Candu, Gudang Garam, penjara, kantor pos, dan Water Torn (menara air), yang merupakan fasilitas pendukung masyarakat kolonial saat itu. Selain itu juga adanya perumahan bagi pejabat penting kolonial yang berada di sekitar alun-alun sebagai
pusat kota.
Selanjutnya, perkembangan kota Magelang bergerak kea rah utara dan selatan, seiring bentukan fisik wilayah yang dibatasi dua sungai besar, sungai Elo di sisi timur dan sungai Progo di sisi barat. Kontur tanah yang naik turun juga mempengaruhi penampatan dan pembangunan suatu bangunan sesuai fungsinya.
Perkembangan ini juga dipacu oleh pembangunan dua stasiun kereta api, Stasiun Kota (Kebonpolo) di utara, dan Stasiun Pasar (Rejowinangun) di selatan. Seiring dengan itu, berdiri pula pasar Kebon[polo dan pasar Rejowinangun yang kemudian berfungsi sebagai penggerak roda ekonomi masyarakat.
Sedangkan warga China, yang jeli melihat peluang ekonomi, lalu memanfaatkan celah antara kedua pasar dan pusat kota dengan mendirikan pusat perniagaan dan perkantoran, yang dikenal sebagai menjadi pecinan.
Kecenderungan lain adalah pembagian wilayah barat dan timur kota. Wilayah barat lebih banyak digunakan untuk lokasi perkantoran dan pemukinan pejabat colonial. Hal ini terlihat pada lokasi kantor karesidenan dan pemukinan di wilayah Cacaban, Bayeman, Boton, dll.
Sementara di wilayah timur didominasi bangunan dan prasarana militer yang terpusat di daerah Wates atau kompleks Rindam sekarang. Baru kemudian, setelah kemerdekaan, pemerintah Republik Indonesia membangun kompleks Akademi Militer di selatan, di sekeliling Gunung Tidar.
Yang menarik, sejak dulu pemerintah colonial Belanda juga membangun infrastruktur lingkungan berupa irigasi atau selokan yang membelah kota. Untuk keperluan irigasi itu juga dibangun beberapa penyangga, sekarang disebut plengkung, karena selokan itu terletak di atas kota. Mungkin selokan di atas kota ini satu-satunya yang ada di Indonesia. Plengkung sendiri kemudian menjadi salah satu ikon bangunan lama yang unik dan khas di Magelang.
Infrastruktur lingkungan lainnya yang dibangun pemerintah colonial adalah ruang terbuka hijau (RTH). Selain alun-alun, juga dibangun Taman Badaan, Taman Gladiol, Stadion (Abu Bakrin), dan lapangan Rindam. Sayang… Taman Gladiol sudah tergusur untuk kepentingan perumahan.
Pemerintah RI, dalam hal ini pemerintah Kota Magelang, sepanjang sejarah kemerdekaan hingga kini bahkan belum pernah membangun sarana public semacam itu. Kalau sekarang dibangun Gedung Olah Raga (GOR) Sanden, hal itu dikarenakan stadion yang ada selama ini adalah milik Akmil. Dan isunya stadion itu dalam waktu dekat akan berubah menjadi pusat perdagangan.
Apakah itu berarti pemerintah colonial Belanda lebih peduli terhadap pembangunan kota yang sehat, dibandingkan pemerintah RI ? Sejarah yang akan menjawabnya.

pesona magelang

Keindahan Panorama Gunung Sumbing

Berikut keindahan panorama Gunung Sumbing yang bisa dinikmati dari salah satu kamar di The Oxalis Regency Hotel, yang berlokasi di dekat tempat wisata Taman Kyai Langgeng:














Pemandangan Gunung Sumbing dari kejauhan di siang hari



Panorama sunset dengan latarbelakang Gunung sumbing yang indah

Sekilas & Sejarah Kota Magelang


Kota Magelang yang terletak pada ketinggian sekitar 500 meter di atas permukaan laut dengan posisi pada 7 derajat Lintang Selatan dan 110 derajat Bujur Timur, merupakan salah satu kota di Jawa Tengah yang menempati posisi sangat strategis.

Di samping itu, kota Magelang juga dikelilingi oleh gunung-gunung dan bukit-bukit, seperti: Gunung Sindoro, Gunung Sumbing, Gunung Perahu, Gunung Telomoyo, Gunung Merbabu, Gunung Merapi, Gunung Andong, Perbukitan Menoreh serta terdapat "Bukit Tidar" yang terletak di jantung kota.

Dengan luas wilayah 18,12 km, terdiri dari 3 kecamatan dan 17 kelurahan, Magelang termasuk kota kecil di Indonesia dengan jumlah penduduk di bawah 200.000 jiwa, yaitu 124.606 jiwa.

SEJARAH

Hari jadi kota Magelang ditetapkan berdasarkan Perda Kota Magelang Nomor 6 Tahun 1989, bahwa tanggal 11 April 907 Masehi merupakan hari jadi. Penetapan ini merupakan tindak lanjut dari seminar dan diskusi yang dilaksanakan oleh Panitia Peneliti Hari Jadi Kota Magelang bekerjasama dengan Universitas Tidar Magelang, dengan dibantu pakar sejarah dan arkeologi Universitas Gajah Mada, Drs. MM. Soekarto Kartoatmodjo, dengan dilengkapi berbagai penelitian di Museum Nasional maupun Museum Radya Pustaka-Surakarta.

Kota Magelang mengawali sejarahnya sebagai desa perdikan Mantyasih, yang saat ini dikenal dengan Kampung Metesehdi kelurahan Magelang. Mantyasih sendiri memiliki arti beriman dalam cinta kasih. Di kampung Meteseh saat ini terdapat sebuah lumpang batu yang diyakini sebagai tempat upacara penetapan Sima atau Perdikan.

Untuk menelusuri kembali sejarah Kota Magelang, sumber prasasti yang digunakan adalah Prasasti POH, Prasasti Gilikan, dan Prasasti Mantyasih. Ketiganya merupakan prasasti yang ditulis di atas lempengan tembaga.

Prasasti POH dan Mantyasih ditulis di zaman Mataram Hindu saat pemerintahan Raja Rake Watukura Dyah Balitung (898-910 M). Dalam prasasti ini disebut-sebut adanya Desa Mantyasih dan nama Desa Glanggang. Mantyasih inilah yang kemudian berubah menjadi Meteseh, sedangkan Glanggang berubah menjadi Magelang.

Prasasti Mantyasih berisi antara lain penyebutan nama Raja Rake Watukura Dyah Balitung, serta penyebutan angka 829 Caka bulan Caitra tanggal 11 Paro-Gelap Paringkelan Tungle, Pasaran Umanis, hari Snais Scara atau Sabtu, dengan kata lain Hari Sabtu Legi tanggal 11 April 907. Dalam prasasti ini disebut pula Desa Mantyasih yang ditetapkan oleh Sri Maharaja Rake Watukura Dyah Balitung sebagai Desa Perdikan atau daerah bebas pajak yang dipimpin oleh pejabat patih. Juga disebut-sebut Gunung Susundara dan Wukir Sumbing yang kini dikenal dengan Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing.

Begitulah Magelang, yang kemudian berkembang menjadi kota, selanjutnya menjadi Ibukota Karesidenan Kedu dan juga pernah menjadi Ibukota Kabupaten Magelang. Setelah masa kemerdekaan, kota ini menjadi kotapraja dan kemudian menjadi kotamadya. Dan di era reformasi, sejalan dengan pemberian otonomi seluas-luasnya kepada daerah, sebutan kotamadya ditiadakan dan diganti menjadi kota.

Ketika Inggris menguasai Magelang pada abad ke-18, dijadikanlah kota ini sebagai pusat pemerintahan setingkat Kabupaten dan diangkatlah Raden Ngabehi Danukromo sebagai Bupati pertama. Bupati ini pulalah yang kemudian merintis berdirinya Kota Magelang dengan berdirinya Alun-Alun, bangunan tempat tinggal Bupati, serta sebuah Masjid. dalam perkembangan selanjutnya dipilihlah Magelang sebagai Ibukota Karesidenan Kedu pada tahun 1818.

Setelah pemerintahan Inggris ditaklukkan oleh Belanda, kedudukan Magelang semakin kuat. Oleh pemerintah Belanda, kota ini dijadikan pusat lalu lintas perekonomian. Selain itu karena letaknya yang strategis, udaranya yang nyaman, serta pemandangannnya yang indah, Magelang kemudian dijadikan Kota Militer. Pemerintah Belanda terus melengkapi sarana dan prasarana perkotaan. Menara air minum dibangun di tengah-tengah kota pada tahun 1918. Perusahaan listrik mulai beroperasi tahun 1927, dan jalan-jalan arteri diperkeras dan diaspal.

kota magelang

fakta bahwa Magelang cukuplah unik, karena siang hari yang biasanya terasa terik dan menjemukan seperti di kota-kota lain, tak akan begitu terasa di sini. Ternyata hawa kota Magelang cukuplah sejuk untuk dinikmati. Hawa sejuk ini secara tak langsung dijelaskan lewat posisi geografis Magelang yang terletak disekeliling deretan pegunungan, yaitu Gunung Sumbing, Merapi, Merbabu, Telomoyo dan bahkan di pusat kota pun ada Bukit Tidar. Bukit yang konon merupakan Paku Tanah Jawa karena posisinya yang berada di jantung pulau Jawa. Nama Magelang pun konon lahir karena posisi geografisnya yang berada di antara pegunungan. Karena, jika ditilik dari atas kota ini akan berbentuk seperti gelang. Dikelilingi pegunungan dan dipusati oleh bukit pula.
Dalam sejarahnya, dahulu kala orang-orang Belanda menjadikan kota ini sebagai pusat ekonomi untuk kerasidenan Kedu, kerasidenan merupakan sebuah distrik pemerintahan zaman Belanda. Diperkirakan ada beberapa pertimbangan penting terhadap pemilihan kota ini sebagai ibukota kerasidenan, seperti ; letaknya yang strategis di tengah pulau Jawa, udaranya yang sejuk untuk beristirahat, faktor geografis yang memiliki banyak perkebunan rakyat, dan tentunya pemandangan yang cukup menawan.
Kesemua hal di atas menjadikan pemerintah Belanda bersemangat membangun kota ini. Hal ini juga dikarenakan pada 1 April 1906 Magelang berstatus kota gemeente (kotapraja) yang berada di bawah kekuasaan pemerintahan Belanda untuk orang-orang Burgeemester (pegawai dan pejabat tinggi). Sehingga saat itu kota harus membangun berbagai fasilitas modern perkotaan, seperti ; fasilitas air, listrik, perbelanjaan, transportasi, hingga pariwisata. Fasilitas-fasilitas tersebut pun terus dibangun sesuai perkembangan zaman. Hingga saat ini masih banyak peninggalan Belanda yang masih kokoh berdiri dengan tegap, seperti ; water tower atau menara air di alun-alun kota yang dibangun pada tahun 1918, perumahan untuk para para perwira TNI, fasilitas listrik yang mengalir sejak tahun 1927 dan juga jalan beraspal di sekeliling kota.
Ternyata tidak hanya dari segi sejarah Magelang menarik, karena Magelang masih memiliki berbagai objek wisata yang menawan. Seperti; Taman Kyai Langgeng, taman yang dibangun untuk rekreasi keluarga ini terletak di tengah kota Magelang (kurang lebih 1 km dari pusat kota). Taman yang memiliki luas sekitar 25 hektar ini berdiri di lembah sungai Progo. Fasilitas yang tersedia pun sangat beraga; ada desa buku, koleksi tanaman dan hewan langka, wahana permainan (kereta mini, becak air, kereta air, roller coaster, dsb) dan juga kolam renang. Tidak cukup itu, turis pun dimanjakan dengan tersedianya penginapan mewah hotel berbintang lima Puri Asri yang letaknya berdampingan dengan taman ini.
Kemudian, tentu tidak yang dapat dilewatkan adalah situs sejarah terbesar dan terkenal di Indonesia yaitu Candi Borobudur. Candi dari zaman Dinasti Syailendra ini bisa dikatakan telah menjadi ikon Indonesia di mata dunia pariwisata internasional, selain Pulau Bali tentunya. Candi ini terletak di kecamatan Borobudur, ± 15 Km ke arah selatan dari pusat Kota Magelang, dan dapat ditempuh sekitar 30 menit menggunakan kendaraan umum yang banyak tersedia. Di dalamnya, selain dapat menikmati kemegahan arsitektur Borobudur, turis juga dapat berjalan-jalan mengitari area dengan kereta mini. Dan, masih banyak lagi fasilitas yang tersedia.
Tak hanya Taman Kyai Langgeng dan Candi Borobudur. Magelang juga memiliki beberapa tempat wisata menarik yang pantas untuk dikunjungi, seperti ; Gardu Pandang Ketep, gardu yang bisa digunakan untuk mengawasi keadaan Gunung Merapi. Candi Mendut, salah satu candi yang cukup besar dan terkenal selain Borobudur. Dan juga Daerah Wisata Kopeng, daerah wisata agro ini juga mengasyikkan karena udaranya yang sejuk ala pegunungan dan penuh dengan perkebunan, mirip Puncak di Bogor.
Selain faktor pariwisata yang cukup menawan, di kota ini juga terdapat institusi pendidikan yang terkenal, yaitu SMA Taruna Nusantara dan juga sekolah calon perwira TNI Angkatan Darat ‘Akademi Militer’ (AKMIL, dahulu bernama AKABRI). Institusi AKMIL telah melahirkan puluhan bahkan ratusan tokoh-tokoh militer Indonesia, termasuk pula Presiden SBY merupakan alumni akademi satu ini.
Begitulah Magelang, kota yang penuh kenangan. Meski obyek pariwisata tersebut belum sempat saya jelajahi secara keseluruhan. Namun, saya yakin obyek-obyek tersebut tak akan mengecewakan untuk dikunjungi.